Saturday, September 30, 2023

Cerita Baru

Buat cerita baru 

menikmati memori baru 

fokus dan yakin kalau aku akan bahagia dengan pilihan baru 

komitmen itu butuh: siap dan yakin 


Jangan menunda

Jangan buang waktu 


Tidak ragu untuk mempertegas hati! 


Tuesday, April 14, 2020

Ilmu Padi: Semakin Merunduk Semakin Berisi



A: Pagi ini ada cerita yang menggugah untuk aku ceritakan. Tadi pagi di seminar, diriku mengajukan pertanyaan kepada semua peserta, "Apa tujuan Anda kuliah kembali?" Nah, diantara peserta ada seorang Ibu yang cukup berumur mengacungkan tangan keatas. Tebak apa jawaban si Ibu?

B: Hmm... pastinya dia akan menjawab, untuk memperluas wawasan dan networking

A: Tebak lagi...

B: Oh aku tahu! Ibu tersebut katamu sudah cukup berumur, jadi dia mengatakan bahwa kuliah lagi untuk menaikkan jabatan.

A: Salah! Dia mengatakan, "To be wise. Untuk lebih bijaksana."

B: "To be wise" dengan kuliah lembali?Agak-agak weird sih. Berasa kayak jawaban di audisi kontes kecantikan dengan memberi jawaban 'aman'. Jujur saja, diriku kembali kuliah ke S2 tujuan utamanya adalah mencari ilmu. Saat kembali kuliah, diriku sudah merasa nyaman ketika ijazah S1 dan  seminar singkat, training dan workshop selama bekerja kurasakan sudah menunjang pekerjaan. Tapi ada juga perasaan bahwa pekerjaan menjadi suatu rutinitas dan ingin mencari tantangan (hidup) baru. Jadi, dengan melanjutkan kuliah S2 bakal menambah ilmu, wawasan baru dan sudut pandang yang lebih multi-angle atau strategis. Dan kenyataannya, selama diriku mengikuti kuliah S2 diriku memperoleh banyak teman baru yang berpotensi memperluas jejaring sosial. Mereka, teman kuliahku, menjadi tempat aku berbagi keluh kesah kerja dan jawaban mereka multiangle sesuai dengan posisi jabatan dan pengalaman bekerja. Dan di kampus, aku pun jadi bertemu para rekan sesama mahasiswa karena mereka dibiayai perusahaan. Mereka ketika kembali ke perusahaan sudah dipastikan mengisi posisi jabatan lebih tinggi. Jadi, kuliah S2 berpotensi meningkatkan jenjang karir seseorang di dunia profesional. 

(Wow, B cukup panjang lebar menguraikan pendapatnya).

A: Kata kunciku kan, "Ibu tersebut adalah perempuan yang cukup berumur." Tanda-tanda orang berilmu kan lebih wise, bijaksana, dan low profile. Ibu tersebut sudah pada fase yang mampu menempatkan pengalaman diri pada praktek ilmu padi. Semakin merunduk, semakin berisi. 

B: Oh ic... Tapi kan tidak selalu semakin tua seseorang maka dirinya semakin bijaksana.

A: Ho oh sayank....

B: Oke lah.


(Suatu cerita pada suatu hari)
Foto diambil dari: Freepik.com

Tuesday, November 06, 2018

2018


Pada suatu malam hari ulang tahun, doa yang kupanjatkan adalah :

Ingin bahagia

Ingin dikelilingi orang-orang yang menyayangi diriku

Ingin ringan dan lancar melangkah pada setiap niat


Tahun ini adalah tahun pertama diriku melewati hari ulang tahun tanpa adanya orang tua karena mereka telah berpulang.

Tepat jam 00.00 wib di hari ulang tahun yang pertama terjadi: diriku menangis di pojokan kamar tidur! How miserable I’am, I tough, karena biasanya akan ada Mama dan Papa yang akan menelpon saya mengucapkan selamat ulang tahun.

Namun cerita berlanjut dengan ucapan selamat ulang tahun dari kakak dan teman-teman, pesta kejutan di kantor, dan selanjutnya Dia - yang tak rajin kusebut dan kudekati – sepertinya membalas pintaku dalam bentuk hari-hari yang kulalui terjalani sesuai doaku.


Ternyata bahagia adalah perkara hati.
Semua diawali dari niat dan semesta mendukung. 
Jika diri ini ingin bahagia, maka awali dari diri. Segera simpul bentuk senyummu dan yakinlah bahwa itu menjadi aura kebahagiaan yang menebar.



I feel like reborn .. 





Wednesday, March 01, 2017

Sepenggal Cerita Remeh bak Rempeyek

Sore itu tidak biasanya saya sudah tiba di hunian sebelum kelam menelan mentari. Dan mata tertuju pada warteg depan apartemen yang masih buka.

Warteg ini sebetulnya sebuah halaman depan rumah yang dimodifikasi berjualan makanan dan tempat orang bersantap. Di warteg ini ada satu penganan saya suka, yaitu rempeyek udang yang renyah dan besarnya seukuran tampah (noted:superlative statement sih…). Taburan udangnya pun melimpah. Tidak seperti umumnya warteg yang lebih banyak tepung ketimbang isian. Enak dan, tentu saja, cepat habis. Laku.


“Pak, pesan nasi putih satu, peyek udang dua,” ucap saya dengan artikulasi (dibuat) jelas. Setahuku Bapak itu memang agak tuli. Penampilan pun cukup renta. Jalannya sudah tertatih dan setiap gerakan menjadi slow motion. Dia menjaga warung sendiri malam itu. Biasanya ada istri, yang juga tentunya renta, menemani berjualan.

Yap, sebenarnya saya sih malas kalau berurusan sama Bapak ini, karena berkali-kali “drama”, tapi mau galak kok  jadi membayangkan seandainya Papa-ku punya warteg.... Saya rasa cara mengatasi kendala itu dengan berbicara dengan suara keras dan artikulasi yang jelas. 
   
Bapak tersebut mengambil sebuah kantung plastik bening dan mulai memindahkan isi sebuah mangkuk yang berisi racikan daging dan sayuran, memasukkannya  ke dalam kantung plastik yang dipegangnya di tangan kiri. Saya diam dan menyimak setiap langkah slow motion Bapak itu. Lama-kelamaan baru sadar kalau menu andalan  warung tersebut adalah sop iga sapi. Waduh, Bapak ini pasti mengira saya pesan sop.

Saya sontak bersuara, daripada seluruh isian mangkuk berpindah ke kantung plastik. “Pak, pesanan saya nasi dan peyek udang,” jelasku. Bapak yang biasanya nyolot tapi kali ini hanya berkata, “Oh saya kira sop. Maaf,” katanya sambil membalik badan menghadap rak kaca yang semula dipunggungi olehnya. Rak kaca bagai di resto Padang ini memang menyajikan tumpukan rempeyek udang yang memancing mata menghampiri warteg seperti kusampaikan di awal cerita.

“Maklum Bu, sudah umur 70 tahun,” celetuknya.

Bagi saya kejadian tadi tidak masalah. Saya asli tidak dalam kondisi cumulonimbus menggantung yang tersurat pada raut muka. Tidak juga menjadi bad mood meski baru mengalami kondisi harus menerabas jalanan macet brengsek dari wilayah Thamrin. Meskipun bangku ojek terasa hanya secuil luasan pantat, dan bang ojek pengen dikeplak gara-gara selipan-selipan nekat diantara mobil.  

Saya malah ketawa sambil melempar guyon, “Yah Pak, 70 tahun mah masih muda. Bapak saya saja sudah 80 tahun,” candaku.

Bapak tersebut balik berkilah, “Iya tapi Bapaknya Ibu kan beda kondisi ekonomi.”

Saya langsung terdiam. Saya langsung ingat Papa saya dan pernyataan saya murni apa adanya buat menghibur. Umumnya orang pasti punya satu gambaran massal tentang: “Tua dalam usia lebih dari ¾ abad” seperti Papa saya. 

Entahlah, saya benar-benar tak paham maksud Bapak tersebut dengan definisi “kondisi ekonomi”. Apa kondisi ekonomi akan mempengaruhi kemampuan maintenance something old item? dan situ memangnya sudah lihat rekening tabungan saya. Ketika pengunjung datang dari bangunan apartemen sementara dia di landed house itu dikatakan beda kondisi ekonomi, tentu Bapak tak tahu kadang manusia pencakar langit, punya kisah menggadaikan hidup dalam pay to bill.

Hidup terasa banal.  Tampilan kadang beda dengan isian. Setiap orang lahir dengan tujuan dan fungsi dalam hidup, meskipun kadang bagai keranjang sampah, ditaruh di pojokan atau buangan.

Malam sudah mewarnai langit ketika saya melangkahkan kaki meninggalkan warteg bersama sekantung rempeyek udang. Saya masih bisa tersenyum dan membalas sapa bapak-bapak security yang saya lalui menuju unit apartemen. Sepertinya “mood awan kumulonimbus” memang tak mampir.  Pada akhirnya saya berpikir, “Yang baper Bapak itu atau perasaan saya serapuh rempeyek? Karena benak ini  terketuk-ketuk hingga mampu menulis blog sepanjang ini.” 

Pada paruh sisa malam, saya pun menyantap peyek sampai remah terakhir. Sambil menuntaskan tulisan remeh nan ringan. Terima kasih bagi teman-teman yang membaca tulisan ini dari awal hingga habis.    

Tuesday, February 07, 2017

Hidup untuk Hari Ini & Lupakan Masa Lalu


Setiba di kantor pada Senin pagi ini, pencarianku tertuju pada secarik kertas kecil di atas meja kantor. Entah kenapa sepanjang akhir pekan pikiranku melayang pada lembaran kertas yang tak lebih dari 1 x 5 sentimeter itu.

Sebuah lembaran dari fortune cookies, sebuah kue yang selayaknya tipis dan renyah, dengan isian sepotong kertas berisi kata-kata yang berisi petuah atau ramalan. Kata-kata itu lebih kurang seperti ini, "Live for today. Learn from yesterday and hope for tomorrow".

Kalimat bijak yang bisa dikutip dari 101 Quotes lalu dicetak untuk pesanan massal meriuhkan New Year. Lalu gunakan probabilitas ketika tangan dimasukkan ke dalam kantung plastik besar, cap, cip, cup sambil membatin, "Semoga ramalan fortune cookies ini tak memperkeruh awan mendung yang selalu bergelayut dalam paruh tahun."

Lalu... Damn! Saat pertama kali membaca lembaran kertas sambil mengunyah kue yang sudah setengah masuk angin itu tidak ada yang istimewa.

Skeptis? Cendrung sinis? Yes, that's me!

Tapi entah kenapa silly though senantiasa membawa saya kembali ke tulisan itu. Entah cerita film tentang relativitas ramalan lembar fortune cookies dengan kejadian yang dialami, ada hal pelecut diri menampar muka sendiri, hingga berpuluh minggu  telah dilalui untuk pada satu hari di tengah duduk termenung sendiri di rumah, diantara tumpukan memorabilia bagian dari masa lalu, meneriakkan pengakuan, "Ada yang salah dengan diri ini!"

Hidup tidak selalu indah, tapi selalu percaya kalau awan mendung pun punya garis perak, bahkan senyum lengkung pelangi akan menanti setelah hujan badai.  Kita mampu membalikkan cerita jadi kisah semanis gulali. Setiap orang punya rahasia. Tapi bak buku terbuka ketika setiap orang yang menatap kita bakal mendesah, "Ada yang tidak beres nih!"

Jika setiap manusia punya lembar Laporan Kinerja periodik, maka rapor Semester II-2016 tidak indah. Kinerja tercapai tapi dengan tertatih. Nilai tinggi hanya di angka, tapi silakan mematut diri, meskipun akan menghabiskan energi karena cermin pun entah dimana (karena entah berapa lama cermin disingkirkan).

Saya tertawa tapi saya bohong. 
Saya ada diantara keramaian, tapi jiwa ada di ruang sunyi.  
Saya tidak semangat. Bahkan make up bukan sahabat penutup luka.  

Masa lalu kadang hanya jadi cerita dulu. Saya atau manusia manapun  tidak bisa mengubah suratan Tuhan.

Takdir adalah teman pengalaman.

Seperti lembaran fortune cookie di meja saya yang sudah dibuang petugas Cleaning Service kantor, lembaran itu itu seperti masa lalu yang perlu dibuang, karena dia tak lebih secarik kertas yang sudah berminggu-minggu di meja kerja.

Hanya kalimat bijak yang sedang kurapal menjadi mantra: 
Hidup untuk Hari Ini. Lupakan Masa Lalu. Kumpulkan cerita di saat ini menjadi helai benang untuk memintal masa depan. 

Dan sebaris puisi kukutip menutup renungan malam:

“Death and Light are everywhere, always, and they begin, end, strive, attend, into and upon the Dream of the Nameless that is the world, burning words within Samsara, perhaps to create a thing of beauty.” - Roger Zelazny 

Oh ya, kadang lagu lama adalah  #moodbooster , karena syair yang melantun adalah teman menyusun puing-puing diri:

Tuesday, April 26, 2016

Cinta dan Blink Blink in the Eye


Entah berapa lama blog ini terbengkalai. Masih sempat mengunggah satu per satu artikel tapi dengan jeda yang jauh. Kalau membaca kembali artikel-artikel yang saya posting, saya mengakui blog ini bak benih yang berkembang menjadi pohon. Blog ini menjadi saksi sejak bibit disemai di ladang biner hingga dia bertumbuh terus menerus menantang matahari, hujan badai, dan tegar merekah menambah bilah cerita sejalan rintik kisah yang disiram olehNya.

Dari lajang radikal nan tersamar di balik puisi dan larik puitis, ketika saya jatuh cinta dengan pria yang kusematkan nama: Bintang Jatuh, Pria beraroma tembakau, si bibir silet, hingga akhirnya menyimpan nama itu di nadi dan dikemas di dalam sudut hati.

"Cinta" ternyata sumber inspirasi terbesar kemampuanku menggurat syair puisi. Dan puisi-puisi mengalir menjadi kebanyakan artikel di blog ini. Namun meskipun dia masih ada, dan dia kini menjelma menjadi binar mata, glowing in my skin, dan saat saya tanpa sadar menyunggingkan senyum saat bersitatap, atau sekadar mengingat untuk menyapa Dia nama yang kuingat di pagi hari saat saya terbangun. Mungkin usia membuat saya berdamai dengan perbedaan, meredam mood-swing, dan memperkecil semua masalah yang memang ga benar-benar masalah.

Blink Blink in the Eye vs Kentang Goreng French Fries 

"Kenapa baikan?"
"Sepertinya saya menjadi sosok yang lebih baik sejak bersama dia."
"Hatimu gimana? Tapi, kamu harus tanya, hatimu maunya apa."

[Silent. Sesi pertemuan dengan sobat berpikir penuh logika terasa jadi salah kisah.]

"Kamu sebenernya dah males juga. Kenapa diteruskan?"

[silent]

[krauk....krauk... suara gigi bersentuhan dengan french fries yang dingin dan mengeras]

[tiba-tiba menganalogikan hati ini seperti kentang goreng fast food yang crunchy saat baru tersaji, namun ketika dibiarkan di nampan menjadi dingin kempos pengen dilepeh. Hati ini lalu bertanya, hal apa yang membuat kita mau baikan dengan pasangan setelah badai...   ]

Gambar dikutip dari: www.isharequote.com


Saturday, February 13, 2016

Hujan

Hujan selalu membawa lamunan.
Ketika di dalam taksi, menikmati kemacetan jalan raya di Jumat malam jam 20.00 wib lebih. Iya. Nikmati saja daripada kesal hanya membawa sesak dada.

"Masih di kantor kamu?"
Whatsapp ini pertanyaan senada hampir setiap malam. Kecuali di akhir pekan.

Mungkin ini nasib kisah kasih orang dewasa di belantara Jakarta. Bukan lagi tentang tanya lagi dimana kah, sudah makan kah, bukan pula tentang betapa 'what the hell' hari ini.

Kesibukan kerja. Kemacetan Jakarta.  Tidak ada curhat tentang kerja yang rempong. Karena daripada ngomong dan berbagi omelan, mending diatasi.

Waktu yang singkat bagi kami terlalu sayang untuk digilas emosi gara-gara masalah ga penting. Masalah itu ga selesai dengan curhat, tapi dengan aksi dan hati yang lapang.

Kerjakan dan temukan solusi. Dia juga turut membantu mengubah sifat kewanitaanku yang tukang gerutu dan berceloteh lepas.

Sebenarnya Saya mau cerita apa?
Tidak ada.

Hanya sekadar menikmati sisa hujan, kemacetan jalan raya.
Hanya sepenggal kisah kecil menunjukkan diri ini berubah. Termasuk dalam cara menikmati hujan.
Hujan telah berkali-kali menjadi sumber inspirasi menulis. Hujan bak derai tangis langit yang hendak melarungkan debu dan kotoran ke antah berantah. Namun derai air dari langit sangat spesial untuk menjadi pembangkit cerita.

Jakarta, Jumat 12 Februari 2016